hanya sekedar berbagi ilmu...

Search

Search about

Plastik Superkonduktor

Kita pasti tidak asing lagi dengan plastik, material sintetik yang dapat dilelehkan dan dibentuk menjadi bermacam-macam bentuk. Plastik telah digunakan dalam semua bidang. Sebagai contoh, plastik digunakan sebagai pembungkus kabel tembaga (karena sifat insulatornya) yang melindungi manusia dari sengatan listrik.

Kata plastik sendiri berasal dari bahasa Latin plasticus, yang artinya mudah dibentuk. Plastik dibuat dari polimer organik, yakni molekul raksasa yang dibangun dari pengulangan atom-atom karbon (monomer karbon). Di tahun 1970-an, Alan J Heeger, Alan G McDiarmid, dan Hideki Shirakawa (pemenang Nobel Kimia 2000) berhasil mentransformasikan plastik dari berupa insulator menjadi konduktor (pengantar listrik). Mereka menggunakan plastik yang terbuat dari polimer organik terkonjugasi (polimer organik yang ikatan ganda-duanya berselang-seling dengan ikatan tunggalnya) dan menambahkan pengotor kimia untuk mengubah sifat listrik plastik tersebut.

Sejak itu, penelitian terhadap sifat kelistrikan plastik (dari material organik terkonjugasi) berkembang pesat. Plastik-plastik konduktor dan atau semikonduktor telah berhasil dibuat dan digunakan sebagai material alternatif untuk logam dan semikonduktor anorganik konvensional. Jendela “pintar” yang secara otomatis dapat menjaga kesejukan gedung dari panasnya sinar Matahari, dioda emisi cahaya (LED), dan sel surya merupakan contoh barang-barang elektronik yang memanfaatkan plastik-plastik tersebut.

Meskipun konduktivitas dan semikonduktivitas material plastik telah diinvestigasi secara ekstensif, namun superkonduktivitas material ini belum pernah dilaporkan. Pembuatan plastik superkonduktor yaitu plastik yang tidak memiliki hambatan di bawah suatu nilai tertentu, ternyata jauh lebih sulit.

Tantangan utama dalam pembuatan plastik superkonduktor adalah mengatasi keacakan struktur inheren plastik-mirip dengan keacakan untaian mi yang telah dimasak-yang mencegah interaksi-interaksi elektronik yang penting untuk superkonduktivitas. Setelah dua puluh tahun, barulah tantangan tersebut dapat diatasi oleh Dr Bertram Batlogg dan koleganya dari Bell Laboratories di Murray Hill, New Jersey, Amerika Serikat. Mereka mampu mengatasi tantangan itu melalui pembuatan larutan yang mengandung plastik, politiofena. Politiofena adalah salah satu jenis polimer organik terkonjugasi yang berupa semikonduktor pada suhu ruang sehingga telah digunakan dalam pembuatan komponen optoelektronik terintegrasi dan sirkuit terintegrasi (IC).

Bertram Batlogg Dengan metode penataan sendiri (self-organization), mereka mampu membuat tumpukan film (lapisan tipis) politiofena yang luar biasa rapi (remarkably well-ordered), mirip dengan tumpukan untaian mi yang belum dimasak. Sebagai pengganti pengotor kimia (yang diketahui dapat merusak kerapian film politiofena), mereka menempatkan film politiofena pada lapisan aluminium oksida dan elektroda-elektroda emas pada peralatan elektronik yang dikenal sebagai field-effect transistor. Transistor tersebut menghasilkan medan listrik yang dapat mengeluarkan elektron dari film politiofena, sehingga elektron tersisa lebih mudah bergerak dan mengantarkan listrik. Pada suhu minus 455 derajat Fahrenheit (2,35 K), plastik politiofena tersebut bersifat superkonduktor.

Mereka mempublikasikan temuannya dalam jurnal Nature pada tanggal 8 Maret 2001. Plastik superkonduktor tersebut termasuk dalam Chemistry Highlight 2001 menurut Chemical & Engineering News volume 79, 10 Desember 2001.

Dibandingkan dengan material superkonduktor lain, plastik superkonduktor tersebut termasuk superkonduktor lemah dan suhu kritisnya (suhu di mana material menjadi superkonduktor) jauh di bawah suhu tinggi. Superkonduktor suhu tinggi bekerja pada suhu sampai minus 200 derajat Fahrenheit (sekitar 145 K). Walaupun demikian, plastik superkonduktor diyakini lebih murah dan lebih mudah dibuat serta dibentuk daripada material superkonduktor lain. Untuk itu, Batlogg dan kawan-kawan optimistis dapat meningkatkan suhu kritis plastik superkonduktor tersebut dengan cara mengubah struktur molekuler plastik itu. Bahkan, Zhenan Bao, kimiawan yang terlibat dalam penelitian tersebut, mengklaim bahwa metode yang mereka kembangkan dapat membuat material organik lain menjadi superkonduktor.

Di akhir artikelnya, para peneliti Bell Labs tersebut mencatat bahwa plastik superkonduktor pertama yang telah mereka temukan memungkinkan diaplikasikan dalam bidang elektronika superkonduksi dan komputer masa depan yang menggunakan kalkulasi mekanika kuantum.

Walaupun usia plastik superkonduktor baru sekitar satu tahunan dan belum diaplikasikan, namun yang pasti pencapaian ini merupakan terobosan yang membuka cakrawala baru ilmu dan teknologi superkonduktor.

Dikutip dari :Harian Kompas 16 Agustus 2002

Penemu Femtokimia dari Mesir

Nama Ahmed Zewail mungkin asing bagi Anda. Namun tidak demikian bagi yang melek ilmu kimia. Ia adalah kimiawan muslim yang meraih hadiah Nobel Kimia pada tahun 1999 atas keberhasilannya menemukan spektroskopi femto laser sehingga lahir ilmu kimia baru yang disebut femtokimia.

Ahmed Zewail dilahirkan pada 26 Februari 1946 di Damanhur, Mesir. Ayahnya seorang pegawai negeri sipil, sementara ibunya adalah ibu rumah tangga. Semasa remaja, Zewail amat menyenangi kimia. Baginya, kimia menyediakan fenomena laboratorium yang ingin dicoba ulang dan dipahaminya. Tak heran, tanpa sepengetahuan orang tuanya, di kamar tidurnya ia merakit sebuah peralatan kecil yang terbuat dari kompor ibunya dan beberapa tabung gelas untuk mengamati bagaimana kayu diubah menjadi asap dan cairan.
Dari Mesir ke AS

Selepas SMU, Zewail diterima kuliah di Fakultas Sains Universitas Alexandria. Ia lulus sebagai sarjana kimia pada tahun 1967 dengan predikat cum laude. Atas prestasinya itu, Zewail diangkat sebagai asisten dosen dan mendapat beasiswa S-2. Sebagai asisten dosen ia sangat disukai mahasiswanya karena penjelasannya sangat rinci dan sederhana. Di sisi lain, disertasinya selesai dalam waktu relatif singkat yaitu 8 bulan. Topik penelitiannya mengenai interaksi molekul dengan cahaya (spektroskopi).

Foto Zewail saat kuliah di Univeritas PennsylvaniaPada tahun 1969, ia mendapat beasiswa S-3 dari Universitas Pensylvania, Philadelphia, Amerika Serikat. Belajar di negeri Paman Sam ini pada awalnya membuat Zewail kesulitan karena perbedaan budaya, terlebih kemampuan berbahasa Inggrisnya pas-pasan. Namun, dengan tekad tinggi ia mampu mengatasinya dan akhirnya lulus sebagai doktor pada tahun 1974 dengan disertasi mengenai spektroskopi pasangan molekul (dimer).

Karena pada tahun tersebut Timor Tengah sedang dilanda perang, Zewail tidak memutuskan kembali ke Mesir. Ia lalu bekerja sebagai peneliti paskadoktoral di Universitas Barkeley selama dua tahun. Ia pun kemudian melamar posisi dosen ke 12 universitas ternama Amerika Serikat. Setelah menerima beberapa tawaran, akhirnya ia memutuskan menerima tawaran dari California Institute of Technology, California. Di salah satu perguruan tinggi bergengsi di dunia inilah Zewail meneliti keadaan transisi reaksi kimia.


Kelahiran femtokimia

Keadaan transisi adalah keadaan antara (intermediate) yang harus dilalui molekul atau atom saat bereaksi. Keadaan ini sulit diamati karena begitu singkatnya waktu keadaan transisi yaitu dalam rentang femtodetik (sepuluh pangkat minus 15 detik). Sebagai gambaran, satu femtodetik setara dengan satu detik dibagi 32 juta tahun.

Seperti kimiawan sebelumnya, Zewail menghadapi problem-problem teknis dalam meneliti keadaan transisi ini. Bahkan ada ilmuwan yang menganggap apa yang dilakukan Zewail itu tak akan berhasil. Namun, anggapan itu tak menyurutkan niatnya, malah membuat Zewail semakin bersemangat meneliti. Tak heran, ia sering berada di laboratorium sampai jam 4 pagi dan menghabiskan bergelas-gelas kopi. Keadaan ini membuat istrinya naik pitam. Maka hubungan Zewail dengan istrinya pun tidak harmonis yang berujung pada perceraian.

Sekali lagi, Zewail tidak terpengaruh. Ia terus fokus pada penelitiannya. Akhirnya, pada penghujung tahun 1980-an, Zewail berhasil mengamati keadaan transisi reaksi kimia garam natrium iodida dengan spektotrofotometer baru ciptaannya, yang sumber cahayanya berasal dari laser berdurasi femtodetik.

Tidak lantas berpuas diri, Zewail menggunakan alatnya itu untuk meneliti reaksi-reaksi kimia lain dari cairan, padatan, gas, dan bahkan reaksi-reaksi kimia hayati (reaksi kimia yang terjadi pada makhluk hidup). Penelitian-penelitian Zewail tersebut diakui dan dipuji sebagai terobosan oleh komunitas ilmiah. Beberapa tahun kemudian, penelitian-penelitan Zewail dan koleganya melahirkan cabang baru ilmu kimia yang disebut femtokimia.

foto-zewail-menerima-nobel-kimia-19991Tidak hanya itu, pada tahun 1999, Zewail pun dianugerahi Hadiah Nobel Kimia. Dengan demikian, Zewail adalah peletak dasar pengembangan femtokimia sehingga ia layak disebut sebagai “bapak” femtokimia.


Sisi lain

Terlepas keberhasilan penelitiannya, kehidupan pribadinya pun kembali bahagia. Ia bertemu dengan jodohnya saat menerima penghargaan dari Raja Arab Saudi atas penelitiannya itu. Dengan istri keduanya ini, Zewail dikarunia dua putra, melengkapi dua putri dari istri sebelumnya.